Senin, 22 Februari 2010

Tinjauan Juridis Penggelapan Dana Calon Haji Menurut UU NO.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji











BAB I
P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dibagi dalam tiga buku yaitu Buku Kesatu, dengan judul “Peraturan Umum”, yaitu peraturan-peraturan untuk semua tindak pidana (perbuatan yang pembuatannya dapat dikenakan hukuman pidana), Buku Kedua “Kejahatan” sedangkan Buku Ketiga “Pelanggaran” yang menyebutkan tindak-tindak pidana.
KUHP tentang peraturan umum terdapat dalam pasal-pasal yang hanya berlaku untuk kejahatan misalnya tentang percobaan dan kejahatan dalam Buku Kedua yang pada umumnya diancam dengan hukuman atau pidana yang berat, dan penyertaan lain-lain tidak berlaku bagi Buku ketiga “Pelanggaran” yang ancaman hukumannya lebih ringan. Namun ringan dan beratnya setiap ancaman hukuman tidak menjadi penghalang seseorang untuk tidak melakukan kejahatan atau pun pelanggaran. Hal ini menjadi masalah dimana arti sebuah aturan hukum jika kejahatan yang dilakukan masyarakat tidak dapat diikuti oleh aturan hukum, seperti kejahatan dengan cara penggelapan adalah salah satu dari jenis kejahatan terhadap harta kekayaan manusia yang diatur di dalam Pasal 372 KUHP, yang merupakan kejahatan yang tidak ada habis-habisnya dan dapat terjadi di segala bidang tidak terkecuali dalam bidang agama bahkan pelakunya di berbagai lapisan masyarakat, baik dari lapisan bawah sampai masyarakat lapisan atas pun dapat melakukan tindak pidana penggelapan yang merupakan kejahatan yang berawal dari adanya suatu kepercayaan pada orang lain, dan kepercayaan tersebut hilang karena lemahnya suatu kejujuran. Hal ini yang menyatakan bahwa tindak pidana penggelapan memiliki masalah yang berhubungan erat dengan sikap, moral, mental, kejujuran dan kepercayaan manusia sebagai individu, seperti halnya kasus penggelapan dana calon haji di Indonesia yang merupakan suatu problema masyarakat yang tidak dapat dipercaya untuk diperbuat seseorang. Niat yang suci untuk melaksanakan perintah Allah swt dengan mempergunakan ongkos sebagai langkah awal untuk memenuhi panggilan-Nya, tidak menjadi hambatan seseorang untuk melakukan kejahatan dan ongkos naik haji yang barangkali didapat seseorang dengan cara harus menjual rumah, tanah, peternakan dan barang-barang lainnya harus berakhir menjadi tindak penggelapan.
Melaksanakan ibadah haji merupakan suatu kewajiban yang mutlak harus dipenuhi oleh setiap muslim yang telah mampu (istitha’ah). Tidak dibenarkan menunda melaksanakan ibadah haji kecuali dikarenakan ada hal-hal yang dibenarkan oleh syariat (‘udzur), seperti sakit atau sebab-sebab lain yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan ibadah haji.
Seseorang yang telah memenuhi syarat istitha’ah harus melaksanakan ibadah haji tahun itu juga dan tidak boleh menundanya tahun depan. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, Nabi Saw. Mengingatkan: “Cepat-cepatlah kalian melaksanakan haji, karena sesungguhnya siapa pun diantara kalian tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi padanya” (HR Imam Ahmad ibn Hanbal). Hal ini juga ditegaskan dalam salah satu khotbah beliau: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah mewajibkan haji atas kalian, maka laksanakanlah” (HR Muslim). Dalam hal ini Sayyidina‘Ali r.a memberikan peringatan yang cukup keras: “Barang siapa telah mampu melaksanakan haji lalu ia tidak melaksanakannya, maka tiada pilihan lain baginya kecuali mati sebagai Yahudi atau Nasrani”. Baik sabda Nabi Saw maupun peringatan Sayyidina ‘Ali r.a ini tentunya menguatkan perintah melaksanakan ibadah haji sebagaimana Allah firmankan dalam QS Ali ‘Imran: 97.



Artinya: “Melaksanakan haji merupakan kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu melakukan perjalanan menuju Baitullah, dan barang siapa mengingkarinya (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha kaya (tidak membutuhkan sesuatu pun) dari semesta alam.”
Penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional karena jumlah jemaah haji Indonesia yang sangat besar, melibatkan berbagai instansi dan lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan berkaitan dengan berbagai aspek, antara lain bimbingan, transportasi, kesehatan, akomodasi, dan keamanan. Untuk meningkatkan tugas nasional tersebut maka diperlukan adanya peningkatan kualitas dalam penyelenggaraan ibadah haji yang merupakan suatu tuntutan reformasi untuk mencapai pemerintahan yang bersih dan tata kelola pemerintahan yang baik. Untuk itu diperlukan adanya lembaga pengawas yang bertugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan ibadah haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Namun, pada kenyataannya upaya-upaya yang ditempuh untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji tersebut belum berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan ada pihak yang terkait pada penyelenggaraan ibadah haji tersebut melakukan kecurangan dengan melanggar kewenangan atau menyalahgunakan hak, walaupun pemerintah sudah mengeluarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang telah berlangsung kurang lebih 1 tahun diberlakukannya. Contohnya, penggelapan dana calon haji yang dilakukan oleh NL yang merupakan petugas Badan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) dan MF yang merupakan Pegawai Dinas Sosial (DINSOS) Pemprov Sumut.
Kaedah seperti inilah yang mendorong timbulnya niat bagi penulis untuk membahas dan menganalisa serta ingin mengungkap kasus atau masalah tersebut dalam skripsi ini. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Penggelapan Dana Calon Haji Menurut KUHP Dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji”.
1. Rumusan Masalah
Untuk dapat menguraikan suatu pembahasan dengan jelas haruslah terlebih dahulu diketahui apa yang menjadi permasalahannya, kegunaannya untuk mengetahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian, dan yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaturan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH), menurut Undang- Undang No.13 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji?
b. Bagaimana bentuk penggelapan dana calon haji?
c. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penggelapan dana calon haji?
2. Faedah Penelitian
Sedangkan yang menjadi faedah penelitian dalam hal ini adalah :
a. Secara teoretis penelitian ini dimaksudkan untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum pidana tentang penggelapan dana calon haji untuk melakukan perlindungan kepada masyarakat khususnya kepada calon jemaah haji Indonesia.
b. Secara praktis penelitian ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat memberikan manfaat terutama dalam hal mengetahui tentang hak- hak calon jemaah haji Indonesia dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam Skripsi ini adalah untuk :
a. Untuk mengetahui pengaturan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) Menurut Undang-Undang No.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
b. Untuk mengetahui bentuk penggelapan dana calon haji.
c. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penggelapan dana calon haji.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian ini yang diperguanakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Materi / Bahan penelitian
Materi / bahan penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini bersumber dari data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan KUHP.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup :
1. Bahan-bahan yang memberikan petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder.
2. Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus besar bahasa Indonesia, Ensklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.
2. Alat Pengumpul Data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen yang berasal dari literatur atau tulisan ilmiah sesuai objek yang diteliti.
3. Analisis Hasil penelitian
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.












BAB II
T I N J A U A N P U S T A K A

A. Penggelapan
Penegakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “Penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah. Dapat diuraikan selanjutnya bahwa penggelapan dapat dikatakan perbuatan merusak kepercayaan orang lain dengan mengingkari janji tanpa perilaku yang baik.
Sedangkan Lamintang dan Djisman Samosir mengatakan akan lebih tepat jika istilah Penggelapan diartikan sebagai “penyalahgunaan hak” atau “penyalahgunaan kekuasaan”. Akan tetapi para sarjana ahli hukum lebih banyak menggunakan kata “Penggelapan“. Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian yang dijelaskan dalam Pasal 362. Hanya saja pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pelaku dan masih harus diambilnya, sedang pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan pelaku tidak dengan jalan kejahatan.
Penggelapan merupakan salah satu dari tindak pidana terhadap harta kekayaan yang berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain (bukan milik petindak). Adapun penggelapan telah memenuhi unsur-unsur dari pada tindak pidana terhadap harta kekayaan, dikarenakan unsur-unsur tersebut, ialah:
1. Unsur - Unsur Objektif berupa:
a. Unsur perbuatan materiil, seperti perbuatan memiliki pada penggelapan;
b. Unsur benda atau barang.
c. Unsur keadaan yang menyertai terhadap objek benda, yakni unsur milik orang lain yang menyertai/melekat pada unsur objek benda tersebut.
d. Unsur upaya-upaya yang digunakan dalam melakukan perbuatan dengan kedudukan palsu.
2. Unsur - Unsur Subjektif berupa:
a. Unsur kesalahan, yang dirumuskan dengan kata-kata seperti: dengan sengaja pada kejahatan penggelapan.
b. Unsur melawan hukum, yang dirumuskan secara tegas dengan perkataan melawan hukum dalam kejahatan-kejahatan penggelapan.
Pada buku II KUHP mengatur tentang penggelapan yang terdiri dari 6 pasal (372-377), adapun jenis-jenis tindak pidana penggelapan tersebut, adalah:
1. Penggelapan dalam bentuk pokok (Pasal 372);
2. Penggelapan ringan (Pasal 373);
3. Penggelapan dalam bentuk-bentuk yang diperberat (Pasal 374-375), dan
4. Penggelapan dalam kalangan keluarga (Pasal 376).
Selain macam-macam penggelapan yang telah disebutkan di atas masih ada tindak pidana lain yang yang masih mengenai penggelapan, yaitu Pasal 415 dan 417, yang mana tindak pidana ini merupakan kejahatan jabatan, yang kini ditarik ke dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Korupsi, oleh karenanya tidak termuat dalam Bab XXIV, melaikan dalam Bab XXVIII yaitu tentang kejahatan yang dilakukan dalam jabatan.
Berikut adalah penjelasan dari pada jenis-jenis penggelapan yang tertuang dalam Bab XXIV Buku II KUHP, yaitu;
a. Pasal 372
Pengertian yuridis mengenai penggelapan dimuat dalam pasal 372 yang dirumuskan sebagai berikut:
Barangsiapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum, sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena salah telah melakukan penggelapan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.900,- (sembilan ratus rupiah).
“Rumusan itu disebut/diberi kualifikasi penggelapan. Rumusan di atas tidak memberi arti sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata yang sebenarnya. Perkataan verduistering yang ke dalam bahasa kita diterjemahkan dengan penggelapan, bagi masyarakat Belanda diberikan arti secara luas (figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin sesuatu menjadi tidak terang atau gelap”.

Contohnya seseorang dititipi sebuah sepeda oleh temannya, karena memerlukan uang, sepeda itu dijualnya. Dengan menjual barang yang dititipi berarti menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan temannya itu dan tidak berarti sepeda itu menjadi gelap atau tidak terang. Lebih mendekati pengertian penggelapan bahwa tindakan tersebut menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai benda dan keberadaannya terhadap benda tersebut adalah fiktif yang man hak tersebut tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi kepercayaan untuk menguasai atau memegang sepeda itu.
a. Pasal 373 KUHP
Pada Pasal 373 KUHP tentang penggelapan yang dikualifikasikan sebagai penggelapan ringan (gepriviligeerde verduistering) dirumuskan dalam Pasal 373 yang berbunyi: “Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 372 apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) dikenai sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp.900,-“
Dikatakan penggelapan ringan, tertelak pada objek kejahatan bukan dari hewan atau benda itu berharga tidak lebih dari Rp.250,00 (dua ratus lima puluh rupiah), tentunya harga itu tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang ini. Namun demikian dalam praktek disesuikan dengan keadaan sekarang ini dan tergantung pada pertimbangan hakim.
Rumusan penggelapan ringan tersebut di atas terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Semua unsur-unsur penggelapan dalam bentuk pokoknya (pasal 372);
b. Unsur-unsur khusus, yakni:
1. Objeknya benda bukan ternak;
2. Nilai benda tidak lebih dari Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah).
b. Pasal 374 KUHP
Penggelapan diperberat pertama, ialah dalam Pasal 374 KUHP merumuskan sebagai berikut: “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap benda disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena suatu pencaharian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam pidana paling lama 5 tahun”.
Unsur-unsur penggelapan Pasal 374 dirumuskan sebagai berikut:
a. Semua unsur-unsur penggelapan dalam bentuk pokoknya (pasal 372);
b. Unsur-unsur khusus yang memberat yakni beradanya benda dalam kekuasaan petindak disebabkan oleh:
1. Karena adanya hubungan kerja,
2. Karena mata pencaharian, dan
3. Karena mendapatkan upah.
Beradanya benda ditangan seseorang yang disebabkan oleh ketiga hal tersebut, adalah hubungan yang sedemikian rupa antara orang yang menguasai dengan benda, menunjukkan kepada kepercayaan yang lebih besar pada orang itu, yang lebih memperhatikan keselamatan dan pengurusannya bukan menyalahgunakan kepercayaan yang lebih besar itu.
c. Pasal 375 KUHP
Penggelapan dengan pemberatan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa disuruh menyimpan barang itu. Misalnya, karena ada kebakaran, banjir, kekacauan, malapetaka dan kemudian oleh orang yang menyimpan barang tersebut digelapkannya, atau uang serta surat yang berharga yang disimpan karena jabatannya yang dapat dilakukan oleh wali, pengampu, seorang kuasa, orang yang menjalankan wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan terhadap sesuatu barang yang ada dalam tangannya karena jabatannya atau barang bukti atau keterangan yang dipakai untuk kekuasaan yang berhak, atau surat akte, surat keterangan atau daftar yang disimpan karena jabatannya, diancam dengan pidana selama 6 tahun.
Rumusan penggelapan diberatkan tersebut di atas terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur penggelapan bentuk pokoknya (372),
b. Unsur-unsur khusus yang sifatnya memberatkan, yakni beradanya benda objek penggelapan di dalam kekuasaan petindak disebabkan oleh:
1. Suatu keadaan yang terpaksa untuk dititipkan;
2. Kedudukan sebagai seorang wali;
3. Kedudukan sebagai pengampu;
4. Kedudukan sebagai seorang kuasa;
5. Kedudukan sebagai pelaksana surat wasiat; dan
6. Kedudukan sebagai pengurus dari lembaga sosial atau yayasan.
Sebagaimana ternyata di atas, subjek hukum (petindak) penggelapan ini adalah orang-orang tertentu menguasai benda dalam kekuasaannya disebabkan oleh kedudukannya yang menunjukkan adanya kepercayaan lebih besar yang diberiakan kepadanya. Sifat diperberatnya penggelapan ini, diletakkan pada kepercayaan yang sangat besar itu.
d. Pasal 376 KUHP
Dalam kejahatan terhadap harta benda, pencurian, pengancaman, pemerasan, penggelapan, penipuan apabila dilakukan dalam kalangan keluarga maka dapat menjadi:
1. Tidak dapat dilakukan penuntutan baik terhadap petindaknya maupun terhadap pelaku pembantunya (pasal 367 ayat 1);
2. Tindak pidana aduan, tanpa ada pengaduan tentunya baik terhadap petindaknya maupun pelaku pembantunya tidak dapat dilakukan penuntutan (pasal 367 ayat 2).
Penggelapan dikalangan keluarga dijabarkan dalam Pasal 367 KUHP yang menyatakan:
“Pencurian atau membantu para pencuri atas kerugian suami atau isrti tidak dihukum, oleh karena kedua suami istri sama-sama memiliki harta benda”.
Baik bagi tindak pidana pemerasan, pengancaman, penggelapan, penipuan, perusakan barang, berlaku pasal 367. Ketentuan ini berlaku bagi mereka yang tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya dibaca: KUHPerdata) dalam pasal 119 KUHPerdata “Apabila suami atau istri atau ia pelaku pembantunya melakukan pencurian terhadap harta benda yang demikian ini, maka terhadap mereka itu tidak dapat dilakukan penuntutan pidana, hal ini disebabkan dalam hukum perdata dikenal lembaga harta bersama, sedangkan dalam Hukum Adat, suami istri di samping memiliki harta benda sendiri-sendiri yang disebut dengan harta bawaan, ada juga harta bersama yang harta bendanya diperoleh selama menjalani perkawinan, dengan tidak melihat siapa yang memperoleh atau atas hasil kerja siapa. Ketentuan hukum adat ini sesuai dengan ketenruan Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama”. Jika dilakukan pencurian oleh suami atau istri atau ia menjadi pelaku pembantunya terhadap harta benda bersama ini maka terhadap suami atau istri atau pelaku pembantunya itu tidak dapat dilakukan penuntutan pidana. Namun apabila mereka belum bercerai tetapi tidak satu tempat tinggal lagi, maka apabila penggelapan ini terjadi dapat dituntut berdasarkan pengaduan.
e. Pasal 377 KUHP.
Pada waktu menjatuhkan hukuman karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 372, 374, dan 375, maka hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya diumumkan dan menjatuhkan hukuman pencabutan hak dan kepada si tersalah yang telah melakukan kejahatan dalam jabatannya, ia dapat dipecat dari jabatannya, keadaan ini tercantum dalam pasal 35 KUHP.
Berikut adalah penjelasan dari pada jenis-jenis penggelapan yang tertuang dalam KUHP Bab XXVIII, yaitu;
a. Pasal 415 dan 417.
Pada Pasal 415 KUHP, menyatakan bahwa seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpannya karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu orang lain itu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Sedangkan pada Pasal 417 menyatakan, bahwa seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara, yang dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tak dapat dipakai barangbarang yang diperuntukkan guna meyakinkan atau membuktikan di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang dikuasainya karena jabatannya, atau membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tak dapat dipakai barang-barang itu, atau membantu dalam melakukan perbuatan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Berdasarkan Pasal 415 dan 417 maka dalam pasal ini terdapat ketentuan yang menyangkut perihal penggelapan. Rumusan Pasal 415 dan 417 diadopsi oleh Undang-Undang No. 31 tahun 1999 yang kemudian diperbaiki oleh Undang-Undang No. 20 tahun 2001. Dua penggelapan yang dimaksud disini adalah berupa penggelapan yang berdiri sendiri. Letak kekhususannya terdapat unsur kualitas tertentu yang melekat pada subjek hukumnya, yaitu sebagai pegawai negeri. Berdasarkan pertimbangan bahwa penggelapan yang dilakukan pegawai negeri dalam kedudukannya dapat ditarik menjadi tindak pidana korupsi, keadaan ini dapat ditarik dengan adanya unsur kepentingan hukum atas hak kebendaan pribadi, tetapi ada kepentingan hukum mengenai hak atas kebendaan publik dari perbuatan yang bersifat melawan hukum seorang pegawai negeri.
Mengenai kualitas tertentu sebagai pegawai negeri, ada persoalan yang berhubungan dengan masalah penyertaan, yakni terhadap orang yang bukan pegawai negeri yang terlibat bersama pegawai negeri. Menurut Adami Chazawi, kepada orang yang bukan pegawai negeri yang ikut terlibat dalam kejahatan jabatan dengan pegawai negeri maka orang lain tersebut dapat dihukum sebagai orang yang menyuruh melakukan peristiwa pidana, unsur ini terdapat dalam Bab V Pasal 55 KUHP yang menyatakan bahwa kepada orang yang dengan sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 163 KUHP yaitu dihukum pidana penjara selama-lamanya 4 tahun penjara dan denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.
Rumusan penggelapan pegawai negeri tersebut di atas terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur objektif
1. Mengenai Petindaknya, ialah:
a. Pegawai negeri;
b. Bukan pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan jabatan umum, baik
sementara waktu maupun terus menerus.
2. Perbuatan yang dilarang:
a. menggelapkan;
b. membantu terhadap orang lain melakukan perbuatan tersebut;
c. membiarkan orang lain menggelapkan;
3. Objeknya:
a. uang;
b. surat berharga.
4. Benda tersebut disimpan karena jabatannya.
b. Unsur subjektif:
1. dengan sengaja.

Apabila seseorang telah memenuhi semua unsur tindak pidana penggelapan maka dia dapat disebut pelaku atau “dader”. Menguasai secara melawan hukum (bermaksud memiliki), menjelaskan maksud unsur ini adalah penguasaan secara sepihak oleh pemegang sebuah benda seolah-olah ia merupakan pemiliknya, bertentangan dengan hak yang membuat benda tersebut berada padanya. Suatu benda ialah benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan ataupun dalam prakteknya sering disebut “benda bergerak”. Seluruh atau sebagiannya adalah milik orang lain, sebagaimana keterangan Simons, “penggelapan atas benda yang sebagian merupakan kepunyaan orang lain itu dapat saja terjadi. Barang siapa atas biaya bersama telah melakukan suatu usaha bersama dengan orang lain, ia tidak boleh menguasai uang milik bersama itu untuk keperluan sendiri”. Benda yang ada dalam kekuasaannya tidak karena kejahatan harus ada hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda pada tindak pidana penggelapan.
2. Dana Calon Haji
Kata haji berasal dari akar kata hajja-yuhijju-hajjan, yang berarti ‘mengunjungi’. Berdasarkan pemahaman secara bahasa ini, ‘haji’ biasa diartikan ‘mengunjungi’ Tanah Suci (Baitullah, Ka’bah) dan tempat-tempat lain yang telah ditentukan untuk melaksanakan rukun islam yang kelima ini. Kata ‘haji’ juga berarti memenuhi sehingga haji juga dapat diartikan ‘memenuhi’ panggilan Allah. Karenanya orang pun biasa mengatakan bahwa seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji berarti dia telah dipanggil oleh-Nya, dan orang ini disebut hajjun atau al-hajju-lah (orang yang memenuhi panggilan Allah). Karenanya juga orang yang melaksanakan ibadah haji sering pula disebut “tamu Allah”. Kata hajjun atau al-hajju di Indonesia menjadi “haji”, sehingga pengindonesiaan lengkapnya menjadi “haji-Allah” (dengan pemahaman bahwa orang yang telah bergelar haji berarti orang tersebut telah ‘memenuhi’ panggilang Allah, atau biasa disebut sebagai tamu Allah.
Jemaah calon haji akan menjadi tamu-tamu Allah Yang Maha Suci dan oleh karena itu sucikanlah pula diri dari dosa dengan cara bertobat kepada-Nya disertai tekad tidak akan mengulangi lagi pebuatan dosa dikemudian hari. Sucikanlah pula diri dari kesalahan yang diperbuat terhadap sesama manusia dengan cara meminta maaf kepadanya.
Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni dengan tujuan menyengaja. Menyengaja disini adalah membiarkan diri, mengikhlaskan diri menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu yang telah disampaikan kepada umat Islam. Yang dimaksud dengan tempat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a (tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Calon adalah orang yang akan menjadi.......” , sedangkan haji adalah sebutan untuk orang yang sudah melakukan ziarah ke Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang ke 5 (lima). Menunaikan rukun Islam ke 5 (lima) setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu. Dari penjelasan di atas dapatlah dibedakan bahwa calon haji adalah seseorang yang bukan haji atau seseorang yang mempunyai keinginan untuk melakukan ziarah ke Mekah demi menunaikan rukun Islam ke 5 (lima). Untuk dapat menunaikan rukun Islam yang ke 5 (lima) tersebut yaitu haji maka bagi calon haji memerlukan dana untuk melengkapi administrasi dan segala keperluan dalam berhaji.
Kamus Besar Bahasa Indonesia juga menjelaskan yang dimaksud oleh dana, ”dana adalah uang yang disediakan untuk keperluan atau biaya. Jika hal ini dikaitkan dengan calon haji maka dana calon haji adalah uang yang disediakan untuk suatu keperluan, dalam hal ini haji atau biaya untuk berhaji.
Biaya untuk melakukan perjalanan ibadah haji disini menjadi tanggungjawab pemerintah, dengan adanya Undang-Undang No. 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, tentunya Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang selanjutnya disebut BPIH, adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji
Sementara dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjelaskan bahwa ”Jemaah haji adalah warga negara yang beragama Islam, memenuhi syarat dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Sedangkan jemaah calon haji memberikan pengertian serombongan orang yang akan menyandang gelar haji.
C. Pertanggungjawaban Pidana.
Tindak pidana atau strafbaar feit merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan dan unsur pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya. Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat dikatakan bahwa tidak akan ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur itu.
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.
Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku ada baiknya pada pembahasan ini terlebih dahulu diketahui apa yang dimaksud dengan kesalahan, sebab kemampuan mengundang untuk pertanggungjawaban pidana tentunya harus mempunyai dasar yang penting yaitu dengan adanya kesalahan. Dalam pertanggungjawaban pidana, tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Artinya pertanggungjawaban pidana dapat dilaksanakan ketika terdapat kesalahan pidana. Untuk itu perlu diketahui apa yang dimaksud dengan kesalahan. Kesalahan menurut Simons adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan, dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukannya sehingga menyebabkan perbuatan orang itu dapat dicela karena melakukan tindak pidana.
Menghubungkan si pelaku adalah manusia, maka hubungan mengenai kesalahan yang dilakukan oleh si pelaku adalah hal kebatinan, perihal ini kesalahan si pelaku tindak pidana. Hanya dengan hukuman batin ini perbuatan yang dilarang dapar dipertanggungjawabkan pada si pelaku. Dan baru akan tercapai suatu pertanggungjawaban pidana terhadap si pelaku yang dapat dijatuhi hukuman pidana.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pertanggungjawaban ialah perbuatan yang menanggung segala sesuatu. Dan menurut E.Y Kanter, kata “pidana” mempunyai istilah yaitu derita, nestapa, dan penyeimbang. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana atau yang disebut criminal responsibility, artinya: “Orang yang telah melakukan suatu tindak pidana di situ belum berarti ia harus dipidana, ia harus mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan.”
Mempertanggungjawabkan atas suatu perbuatan berarti untuk menentukan pelaku salah atau tidak. Di dalam hukum pidana berlaku asas “tiada hukuman tanpa kesalahan”, jadi pelaku dalam peristiwa pidana harus orang yang bertanggung jawab atas perbuatannya yang salah.
Pada pertanyaan di atas dapat ditarik persamaan yang saling terkait dimana pertanggungjawaban hukum menyatakan perlu adanya pandangan-pandangan melalui hati nurani apabila ingin menetapkan pertanggungjawab hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana, misalnya pada pernyataan diatas, “orang yang melakukan tindak pidana belum berarti dapat dipidanakan” hal ini mengingatkan pada Pasal 44 KUHP yang berbunyi, “barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau karena terganggu penyakit, maka dengan itu tidak dapat dipidana”. Namun, pada pernyataan lain dari pengertian pertanggungjawaban hukum pidana menyatakan ”Orang yang melakukan tindak pidana, harus bertanggungjawab atas perbuatan yang telah ia lakukan”, keadaan ini memberi makna bahwa atas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang harus dipertanggungjawabkannya sebagai perbuatannya yang telah melawan hukum, untuk itu apabila adanya tindak pidana yang dilakukan dengan keadaan yang sadar akan fikirannya sebagai manusia pada umumnya dan telah terbukti kesalahan ada padanya maka seperti asas hukum yang menyatakan tiada hukuman tanpa kesalahan bermaksud bahwa hukuman yang diberikan kepada si pembuat pidana tidak mungkin tanpa kesalahannya yang dengan cara melawan hukum dan atas kesalahan tersebut maka pertanggungjawaban hukum menjadi nilai keadilan bagi masyarakat bahkan bagi si pembuat pidana.
Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Hal ini berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat, yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu.
Disamping unsur kesengajaan di atas ada pula yang disebut sebagai unsur kelalaian atau culpa yang dalam hukum pidana disebut yang tidak disadari. Dan kealpaan disadari atau bewuste schuld. Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati.
Kelalaian (culpa) dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja. Hal ini dikarenakan sengaja berarti mempergunakan kemampuannya pada perbuatan yang salah dan dalam keadaan yang disadari, sedangkan kelalaian (culpa) melakukan perbuatan yang kurang berhati-hati dan secara kebetulan melahirkan kejahatan. Kelalaian ini dapat didefinisikan apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang. Maka dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa jika adanya hubungan antara batin si pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu, atau ada hubungan lahir antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang kepadanya, dengan demikian hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidana yang telah ia lakukan, oleh karena itu pertanggungjawaban pidana atas perbuatan itu secara jelas ditimpakan kepada pelakunya itu. Tetapi jika hubungan kausal tersebut tidak ada maka pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidananya itu tidak dapat ditimpakan kepada pelakunya itu sehingga hukuman pidana tidak dapat dijatuhkan kepada pelakunya itu.
Pertanggungjawaban pidana ini, secara sederhana dan ringkas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban pidana ini oleh karena berkait dengan unsur subyektif pelaku maka tentunya sangat berkait erat dengan faktor ada atau tidaknya kesalahan yang mengandung unsur melanggar hukum atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Hasil akhirnya dapat berupa pernyataan bahwa tidak diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya sehingga tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun bisa juga diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya namun tidak ada kesalahan dari pelakunya.
Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.

Pada pertanggungjawaban pidana disini ialah pertanggungjawaban atas perbuaat tercela dan bersalah dihadapan hukum untuk itu pertanggungjawaban yang diberikan tersebut ialah penjatuhan pidana dan tidak ada alasan pemaaf sebelum pertanggungjawabann pidana menjerat kepada si pembuat pidana.

Minggu, 21 Februari 2010

dinding anak jalanan masih kotor